Pelaku Asusila Di Kecamatan Tawalian Dijatuhi Sanksi Adat “Diparraukan”

Mamasa — Tiga pelaku pencabulan anak di bawah umur di Kecamatan Tawalian, Kabupaten Mamasa, Sulbar, dijatuhi hukum adat “Diparraukan” atau sanksi “Tombak Kerbau” atau Dipa’longkosan’ atau “Tebas Kerbau”

Sanksi ini termasuk sanksi adat terberat dalam tatanan tradisi masyarakat Mamasa, sesuai dengan tingkatan pelanggaran yang diperbuat.

Sanksi Diparraukan atau Dipa’longkosan adalah sebuah tradisi dimana pelaku yang dianggap melangggar hukum adat berat, mengorbankan seekor kerbau.

Kerbau yang dikorbankan adalah kerbau milik orang lain yang dipilih oleh tokoh adat dengan cara ditombak.

Kerbau yang ditombak atau ditebas tersebut diganti oleh pelaku berapapun nilai jual yang dipatok pemiliknya.

Daging kerbau yang ditombak atau ditebas tersebut tidak boleh dikonsumsi oleh masyarakat karena daging dari kerbau tersebit dianggap sebagai makanan binatang.

Sehingga jika ada saja orang yang memakan daging itu, maka dianggap sama dengan binatang.

Kerbau itu nantinya akan dihanyutkan di sungai, dengan harapan perbuatan yang dilakukan mengalir bersama sungai.

Dengan demikian, perbuatan itu diyakini tidak berdampak pada musibah dan bencana alam.

Hukum ini merupakan inplementasi dari falsafah masyarakat Mamasa yang menganut sistem “Ada’ Tuo Tang Mate”.

Ada’ tuo tang mate berasal dari empat suku kata yakni ada’ berarti adat, tuo berarti hidup, tang berari tidak, dan mate berarti mati.

Sehingga, ada’ tuo tang mate dapat diartikan sebagai suatu tatanan adat yang berlaku di wilayah Mamasa dalam menyelesaikan permasalahan secara damai, tanpa harus mengorbankan nyawah seseorang atau kelompok masyarakat.

Hal itu diungkapkan salah seorang tokoh adat Kecamatan Tawalian, Maurids Genggong.

Terhadap penerapan hukum adat ini,  Maurids Genggong mengatakan, pihak keluarga pelaku menyetujui dan bersedia dikenakan sanksi adat.

Namun pelaksanaan dari sanksi adat itu, pihak keluarga pelaku diberi waktu paling lambat hari sabtu dalam pekan ini, untuk menyesiapkan segalah kebutuhannya, termasuk kerbau.

Maurids Genggong menuturkan, sanksi adat yang diterapkan terhadap pelaku asusila, dianggap sebagai hukuman yang setimpal dengan perbuatannya.

“Pihak keluarga pelaku bersedia diberi sanksi adat,” ujar Maurida Genggong.

Pada ekseskuasi sanksi hukum adat itu kata dia, diperkenankan masyarakat untuk menyaksikannya.

Lebih jauh dia menjelasakan, penerapan sanksi ini diharapkan dapat mengahapus kutukan akibat dari perbuatan asusila yang terjadi di wilayah  Tawalian dan Kabupaten Mamasa secara umum.

Sebab diyakini bahwa perbuatan itu akan membawa mala petaka bagi masyarakat umum, jika tidak dilakukan hukum adat sesuai tradisi masyarakat Mamasa.

“Kita berharap ini menjadi pengampunan bagi masyarakat umum, sehingga kita terlepas dari kutukan,” harapnya.

Tiga pelaku yang dihukum yakni MK ayah korban, DM kakak korban dan DA sepupunya mencabuli darah dagingnya yang masih duduk di bangku kelas 3 SMP.

Sebelumnya sesuai hukum adat pihak tokoh adat dan lembaga adat Kecamatan Tawalian telah merumuskan sanksi adat yang akan dijatuhkan pada pelaku, beberapa hari setelah pelaku ditangkap.

Tokoh adat Tawalian yang menjatuhkan hukum adat ini yakni Maurids Genggong, Edi Muliono, Aleksius Pualillin, Elex Demmanaba dan Daniel Mewa.

Prosesi pemberian hukum adat ini berlangsung di Aula Kantor Camat Tawalian, Senin (3/2/2020) siang.

Selain akan menjalani hukum adat, ketiga pelaku juga saat ini sedang menjalani hukum pidana atas perbuatan asusila terhadap seorang kerabat dekatnya hingga hamil. Leo/MdB

Bagikan...

Pos terkait

banner 468x60

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *