Ombudsman Berikan Catatan Perihal Kebijakan Investasi Pasca UU Ciptaker

JAKARTA,Rakyatta.co — Ombudsman Republik Indonesia memberikan sejumlah catatan terkait kebijakan investasi pasca diterbitkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Ciptaker). UU Cipta Kerja dan Peraturan Pemerintah yang telah terbit dinilai masih banyak yang belum bisa diimplementasikan.

Angggota Ombudsman RI, Hery Susanto mengatakan hal itu terjadi karena terdapat perbedaan karakter kegiatan usaha satu dengan usaha lain sehingga membutuhkan peraturan kebijakan tertentu.

Bacaan Lainnya

“Hal yang belum diatur dan atau belum cukup diatur dalam UU Cipta Kerja dan turunannya perlu dikaji, dirumuskan dan didorong bersama-sama agar segera diatur dan ditetapkan guna mempercepat pencapaian target yang diharapkan,” tegasnya dalam kegiatan diskusi Ngobrol Virtual Bareng Ombudsman RI, Kamis (5/8/2021).

Padahal menurut Hery, UU Ciptaker ini diharapkan dapat memberikan kepastian hukum, menyederhanakan perizinan, dan menghapus aturan-aturan yang tumpang tindih karena Indonesia memiliki daya tarik ketersediaan sumber daya alam.

Hery dalam pemaparannya memberikan sejumlah catatan kepada pemerintah daerah terkait mengenai apa yang harus dilakukan pasca diterbitkannya UU Ciptaker. Pertama, Pemda harus melakukan identifikasi dan inventarisasi produk hukum daerah, baik Peraturan Daerah (Perda) maupun Peraturan Kepala Daerah (Perkada) yang materi muatannya berkaitan dengan UU Ciptaker.

“Arahnya tentu adalah melakukan perubahan, pencabutan atau menetapkan Perda atau Perkada, yang disesuaikan dengan UU Ciptaker. Jika telah teridentifikasi, maka perencanaan Perda ditetapkan di luar propemperda dengan Keputusan DPRD dan melakukan penambahan perencanaan Perkada yang ditetapkan dengan Keputusan Kepala Daerah,” terang Hery.

Ia menambahkan, dalam Pasal 250 UU Pemda yang diubah melalui UU Ciptaker, perda dan perkada dilarang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, dan putusan pengadilan.

“Agar tidak bertentangan dengan rambu-rambu tersebut, Pasal 251 UU 23/2014 sebagaimana diubah melalui UU Ciptaker mengamanatkan kepada pemda untuk berkoordinasi dengan kementerian yang membidangi urusan pemerintahan dalam negeri dan melibatkan ahli dan/atau instansi vertikal di daerah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pembentukan peraturan perundang-undangan yakni Kementerian Hukum dan HAM,” ujar Hery.

Ia juga menekankan pentingnya koordinasi dan harmonisasi dalam rangka mewujudkan peraturan perundang-undangan yang lebih berkualitas dan responsif, serta berkontribusi dalam mendukung pembangunan di daerah. Selain itu, pelaksanaan UU Ciptaker harus terus didorong ke arah pencapaian bersama dengan dukungan seluruh perangkat negara.

“Kementerian Dalam Negeri berkoordinasi dengan pemerintah daerah untuk penyiapan dan penyesuaian dalam pelayanan perizinan di daerah melalui Sistem Online Single Submission (OSS), termasuk untuk penyiapan SDM, infrastruktur jaringan, perangkat pendukung, serta penyesuaian Peraturan Daerah (Perda) terkait,” tegasnya.

Sementara itu, Hery juga memaparkan terkait penanganan laporan masyarakat yang ditangani Ombudsman RI di bidang kemaritiman dan investasi pada kurun waktu 2018-2020, laporan terkait substansi perhubungan dan infrastruktur menduduki peringkat pertama yakni sebanyak 655 laporan. Kemudian disusul bidang perizinan sebanyak 647 laporan, pertambangan 574 laporan, kelistrikan 374 laporan, PUPR 362 laporan, KLHK 324 laporan, dan penanaman modal 46 laporan dan perikanan 26 laporan. Berdasarkan instansi terlapor, laporan masyarakat terkait substansi kemaritiman dan investasi, pemerintah daerah paling banyak dilaporkan yakni sebesar 58 % disusul BUMN dan BUMD  sebanyak 35 %, KESDM 5 %, KLHK 3 %, Kemenhub 3%, Kementerian PUPR 2 %.

“Permasalahan pelayanan publik yang sering dilaporkan terkait perizinan di antaranya aduan
mengenai prosedur dan waktu proses perizinan yang tidak ada kepastian, adanya pungutan liar
serta adanya petugas yang tidak memberikan pelayanan terhadap masyarakat yang mengajukan perizinan,” ungkap Hery.

Sedangkan permasalahan yang sering diadukan masyarakat terkait penanaman modal, di
antaranya adalah tentang permohonan jaminan hukum berinvestasi, ketidakpastian prosedur, mekanisme, biaya dan waktu dalam rencana investasi, serta adanya pengutan liar.

Di akhir paparannya, Hery menyampaikan beberapa harapan Ombudsman RI di antaranya
percepatan penyelesaian laporan masyarakat dengan mengoptimalkan focal point pada instansi Terlapor, membangun koordinasi dan kerja sama dengan Kementerian/Lembaga/Penyelenggara Pelayanan Publik dalam Pencegahan Maladministrasi dan Penyelesaian Laporan Masyarakat, membangun koordinasi dan kerja sama dalam rangka pengawasan pelayanan publik di Kementerian/Lembaga terkait dengan Aparat Pengawasan Internal Pemerintah (APIP) dan komisi-komisi terkait di DPR RI, serta bersinergi dalam penyusunan regulasi dari pusat sampai dengan daerah dalam rangka penyelenggaraan pelayanan publik. (*)

Bagikan...

Pos terkait

banner 468x60

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *