Terima Kasih Jenderal Bahar…

Oleh: Nur Salim Ismail

Opini — Setiap pertemuan selalu berujung pada perpisahan. Demikianlah siklus kehidupan ini telah diatur sedemikian rupa dalam kuasa Tuhan yang Maha Esa. 

Tak terkecuali dengan hadirnya rotasi jabatan di lingkup kepolisian republik Indonesia. Kapolda Sulawesi Barat, Brigjen Pol. Baharuddin Jafar kini dimutasi ke Polda Maluku lengkap dengan pangkat dan gelar yang baru. Ia tak lagi berpangkat bintang satu, melainkan telah beranjak ke bintang dua.

Namun bukan itu yang sedang menjadi tema penting di Sulawesi Barat. Sebab sosok Baharuddin Jafar, telah terpatri sebagai manusia pengayom umat. Ia mampu menembus seluruh sekat perbedaan. Baik agama, budaya, politik maupun berbagai jenis perbedaan lainnya. Kepribadiannya bukan sebatas sosok sang Jenderal. Ia adalah figur tokoh masyarakat, suluh keumatan, dan bapak bagi semua pihak. 

Pria yang menganut paham Dunia sementara akhirat selamanya ini, di masa kepemimpinannya telah berhasil memasuki berbagai wilayah hingga ke pelosok. Bahkan wilayah yang boleh jadi belum pernah dikunjungi oleh pemerintah setempat sekalipun. 

Di tubuh Polri sendiri pun, ia berhasil menampakkan wajah kepolisian yang humanis. Ia kerap kali mendahulukan pendekatan budaya di atas segalanya. Bahkan tak segan-segan ia tampil sebagai pemimpin kepolisian yang berani menyatakan permohonan maaf atas ulah kenakalan anak buahnya.

Tidakkah ini akan meruntuhkan citra dirinya sebagai Pejabat? Sungguh tidak demikian. Saya percaya atas prinsip itu. Sebab darinya saya pernah menyimak pesan pamungkas: “Tongkat Nabi saja bisa lepas, apalagi kalau tongkat seorang Jenderal,” begitu pesan singkatnya kepada saya, medio Januari lalu.

Suatu ketika, sehabis menunaikan shalat Jumat, saya diminta untuk tak bergegas pulang. Singkat cerita, di ruang kerjanya, ia banyak bercerita tentang perjalanan hidupnya hingga berujung pada kesimpulan untuk putar haluan. Ia memutuskan untuk menempuh jalan dakwah. 

Dalam dialog berdurasi sekira 45 menit itu, sesekali mendebat beliau. Namun berkali-kali pula ia meminta saran dan pandangan. Kali ini, hayalan saya sedang melambung tinggi. Sedang kagum dan bangga pernah bersua dengan sosok pemimpin yang sedemikian jernih memahami ruang pembatas antara ‘berbeda’ dan ‘melawan’. Dua kosa kata yang akhir-akhir ini tumpul dipahami di kalangan para pemburu kekuasaan. 

Ia tahu betul bahwa ketika hati yang beku dihadapi dengan hati yang jernih, lapang dan tulus, niscaya akan menemukan muara yang sama, yakni kelembutan.  Hal ini selaras dengan karakternya sebagai pria yang dibesarkan dalam kultur bugis Bone telah mengantar seluruh ruang dialog itu sulit memendam luka dan amarah.

Kini, atas nama panggilan tugas, Pak Bahar harus meninggalkan Sulawesi Barat. Kepergiannya, tentu akan memberi catatan dan jejak-jejak kebaikan yang ditorehkan. Benarlah pesan Nabi saw. Innamal a’malu bil khawatim. Bahwa pada dasarnya perbuatan manusia itu sangat tergantung pada akhir pencapaiannya. 

Yang Mulia Pak Bahar, selamat jalan. Sesungguhnya kepergianmu ke Kota Ambon Manise tak sendiri. Engkau sedang diliputi oleh selimut keberkahan, doa-doa terbaik dan pengharapan yang tak berkesudahan. Salama’ki Puang. 

Bagikan...

Pos terkait

banner 468x60

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *