TRENGGALEK — Pulang kampung selalu menghadirkan sensasi yang tak bisa tergantikan. Setiap sudut desa, setiap hembusan angin pagi, hingga setiap langkah di jalan tanah yang sudah mulai dilapisi kabut tipis, terasa begitu menggetarkan. Aku selalu merasa bahwa kampung adalah tempat di mana hati bisa kembali pulih, jauh dari hiruk-pikuk kehidupan kota yang padat dan penuh dengan rutinitas.
Pagi itu, aku bangun lebih awal dari biasanya. Matahari belum sepenuhnya menampakkan sinarnya, namun udara segar yang menyentuh kulit sudah memberikan rasa damai. Aku berjalan keluar rumah, menyusuri jalan setapak yang dibalut embun, mendengar kicauan burung yang masih sibuk menyambut hari baru. Semua itu terasa begitu murni dan alami, jauh berbeda dari kebisingan yang biasa aku temui setiap hari di kota.
Sesampainya di teras, ibuku sudah menyiapkan segelas kopi hitam, kopi yang selalu aku rindukan setiap kali jauh dari rumah. Wangi kopi yang tercium begitu khas, berpadu dengan aroma alam yang masih sejuk, membuatku seolah-olah tenggelam dalam kenangan masa kecil. Aku duduk di kursi kayu tua yang sudah lama menjadi saksi bisu kebersamaan keluarga kami, menikmati setiap tetes kopi yang hangat.
Tidak ada yang lebih nikmat dari menikmati secangkir kopi di pagi yang tenang. Rasanya, secangkir kopi bisa memberikan rasa bahagia yang sederhana—menyegarkan tubuh, menghangatkan jiwa, dan mengingatkan pada hal-hal kecil yang sering terlupakan. Aku menatap hamparan sawah yang hijau, menikmati keindahan alam yang begitu damai. Semua itu adalah hal-hal yang tidak bisa aku dapatkan di kota.
Pulang kampung memang selalu membawa kebahagiaan tersendiri. Menikmati udara pagi yang segar, duduk santai sambil menyeruput kopi, rasanya dunia menjadi lebih indah. Inilah momen yang selalu aku tunggu-tunggu—untuk kembali merasa tenang, untuk kembali merasakan kedamaian dalam setiap hembusan angin dan secangkir kopi yang disajikan dengan penuh cinta.